Sebatang Kara adalah sebutan yang sering
terucap di desa terpencil di daerah Riau. Sebatang kara memang wajar jika di
ucapkan kepada Mbah Sani, seorang kakek-kakek yang berumur tujuh puluh tahun ke
atas, yang juga hidup sendiri tanpa adanya kehadiran keluarga. Dulunya Mbah
Sani adalah orang Jawa, ia pergi ke Riau untuk mengundi nasib dengan istrinya yang bernama
Tari.
Setelah
setahun menetap di Riau, Tari, istri Mbah Sani meninggal karena sakit parah
yang di deritanya, lekas itu Mbah Sani hidup sendiri ia tidak mempunyai anak
dengan Tari almarhum istrinya.
Ketika berumur empat puluh tahun dia
ingin mencari pendamping hidupnya lagi, tapi yang ada hanya seorang janda tua,
yang sangat kejam kepada orang lain janda itu adalah janda terkaya di desa,
setiap ada orang utang pasti bunganya selalu tinggi. Jika satu minggu cicilan
tidak di bayar maka hutang akan bertambah. Dan jika tetap tidak membayar maka
dia akan mengusirnya. Itulah kejamnya janda tua
yang bernama Kurniati.
Cantik
memang diakui dan kaya memang kenyataannya tapi, Mbah Sani tidak seceroboh itu,
yang ia butuhkan bukanlah paras dan harta tapi, hati dan sifat yang benar-benar
tulus untuk menjadi pendamping hidupnya.
Memang
saat itu Mbah Sani juga awet muda, ia di kenal dengan duda tampan di desa itu,
Kurniati juga menyukainya, tapi Mbah Sani menolaknya. Dia lebih baik sendiri
daripada harus bersama Kurniati yang tidak punya peri kemanusiaan, dengan
berbagai cara dilakukan oleh Kurniati untuk mendapatkan Mbah Sani tapi tetap
saja berujung pada penolakan.
Kurniati adalah seorang yang licik dan
pendendam, dengan semua penolakan Mbah Sani, Kurniati menjadi dendam dan berusaha
untuk menghancurkan Mbah Sani.
“ Jika aku tidak bisa menjadi pendamping mu tidak apa bagiku, tapi lihat apa yang akan terjadi pada dirimu, camkan itu!”. Kata Kurniati kepada Mbah Sani. Mbah Sani tidak takut ataupun cemas dengan ancaman itu ia yakin bahwa kebaikan pasti akan selalu menang.
“ Ingat Kurniati, aku tidak takut sama sekali denganmu, jangan pikir kau kaya kau bisa segalanya, tidak! semua itu hanya titipan dari yang Maha Kuasa dan tak perlu kau gunakan untuk menghujamku”.
“ Sombong kau Sani, petani kelapa sawit saja belagu, dasar tidak tahu
di untung! Awas saja nanti”. Dengan muka yang sangat merah pupil mata yang melebar Kurniati
segera pergi meninggalkan rumah Mbah Sani.
Esok harinya ketika Mbah Sani akan
memanen kelapa sawitnya, tidak tersisa satupun kelapa sawit yang ada di pohon.
Mbah Sani sangat terpukul padahal ini adalah satu-satunya sumber penghasilannya,
mau makan apa nanti jika dia tidak bisa
mendapatkan uang.
Dengan
perasaan terpaksa ia pulang tanpa membawa apapun meski begitu, Mbah Sani
tidaklah mudah untuk menyerah, ia yakin pasti ada orang yang sengaja mencuri
kelapa sawitnya, untuk menyelidikinya ia mendatangi setiap rumah warga desa.
Setelah satu minggu, ternyata kelapa
sawit itu telah di curi oleh anak buah Kurniati, betapa marahnya Mbah Sani
sehingga ia berani melaporkan Kurniati ke kantor polisi.
“ Orang keras seperti Kurniati bisa takluk juga.”
“ Tidak San tolong jangan laporkan aku, aku
tidak bisa hidup di penjara, aku minta tolong jangan laporkan aku. Aku janji
tidak akan mengulangi perbuatanku yang kedua kalinya.”
Mbah Sani pun mendengar apa yang di katakan kurniati.
“ Baiklah aku melepaskanmu, tapi sekali lagi kau mencoba
menggangguku aku, hidupmu tidak akan nyaman!”
“ Iya maafkan aku”
Tanpa panjang lebar ia tinggalkan
Kurniati dan membawa kelapa sawitnya dengan gerobag buluknya dan membawanya ke
pabrik dekat rumahnya. Akhirnya hari ini ia bisa memakan dengan kenyang, dan
cukup untuk persediaan tiga bulan.
Untuk mengantisipasi kecolongan lagi yang
mungkin bisa terjadi lagi, Mbah Sani menanam ubi dan palawija. Umbi-umbi yang ia tanam adalah
bekal jika berasnya habis dan palawija ini bekal untuk menabung di hari tua
nanti, jika ia tidak bisa mencari nafkah lagi.
Enam bulan kemudian ia berhasil memanen palawijanya dengan
keuntungan yang besar itu ia tabungkan ke celengannya dan sebagian untuk dia
bagikan kepada tetangganya. Tak lama kemudian malam harinya Mbah Sani bermimpi
bertemu dengan almarhum istrinya.
“ Tari kamu masih hidup, itu kamu kan Tari?”
Dengan keadaan ngelindur tiba-tiba Mbah Sani jatuh dari tempat tidurnya.
“ Astaghfirulloh, ternyata hanya bermimpi, apa maksud dari mimpi ini? Apakah
aku terlalu berlebihan dalam hal ini?.”
Keesokan harinya Mbah Sani sakit, ia mencoba keluar rumah untuk meminta
bantuan, sesampainya di pinggir jalan raya Mbah Sani pingsan dan datanglah
Mentari seorang remaja yang sangat baik hatinya.
“ Ya Alloh, Bapak kenapa bisa ada di sisni? Tolong, tolong, tolong, tolongin
Pak Sani, aku minta tolong.”
Setelah itu masyarakat yang ada di sekita
langsung membawa Mbah Sani Ke puskesmas, ternyata Mbah Sani sakit panas.
“ Saya ada di mana ini?.”
“ Bapak lagi di puskesmas.”
“ Kamu siapa?.”
“ Saya Mentari yang dulu pernah diasuh sama Bu Tari Pak, tadi saya menemukan
Bapak dalam keadaan pingsan jadi Bapak di bawa kesini oleh warga.”
“ Oh ya makasih sekali ya nak, Bapak memang sedang tidak enak badan rasanya.”
“ Ya Pak, tidak apa-apa.”
Setelah keadaan Mbah Sani pulih ia pulang kerumah diantar oleh Mentari.
“ Ayo pak, jalannya hati-hati.’’
“ Sudah sampai sini saja kamu mengantar Bapak, pulanglah nak, orang tuamu pasti
mencarimu, dan Bapak berterima kasih karena kamu sudah membantu Bapak.
Sampaikan salam untuk ayahmu Pak Sahat.”
“ Iya Pak nanti saya sampaikan, tapi apakah tidak apa-apa jika Bapak saya
tinggal sendiri?.”
“ Bapak sudah biasa sendiri nak, pulanglah kasihan orang tua mu.”
“ Ya sudah aku pulang dulu pak, jika ada apa-apa langsung bilang padaku ya
Pak.”
“ Iya nak.”
***
Baru saja mendapatkan cobaan kini Mbah
Sani bertambah penderitaan, rumah satu-satunya yang di bangun bersama istrinya
ternyata telah hangus terbakar, ia hanya bisa meneteskan air matanya dan
berhara ia tetap tabah menghadapi semua ini.
“ Kini yang tersisa hanyalah aku seorang, rumahku, hartaku kini telah ludes terbakar.Aku tidak mengerti kenapa cobaan terus datang silih berganti, istriku yang sangat aku cintai telah meninggalkan aku, aku tidak punya siapa-siapa apa arti semua ini, aku hanya sebatang kara, Ya Alloh beri aku petunjukmu, kasihanilah hamba,ampunilah hamba, dan bantulah hamba agar bisa menghadapi semua ini.”
Meski nasib dan takdir menyakitkan Mbah
Sani tetap berjuang ia membangun sebuah gubuk yang nyaman untuk berteduh,
terkadang Mentari menengoknya daengan membawa bekal, dan akhirnya Mbah Sani
bisa merasakan adanya kehadiran seorang anak, meskipun Mentari bukanlah
anaknya.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar